‘Lelaki Harimau’ oleh Eka Kurniawan

28115774Ada pengalaman yang cukup ironis bagi saya di awal tahun 2016 ini. Nama Eka Kurniawan sebagai novelis Indonesia justru pertama kali saya kenal lewat sebuah blog review milik seorang pria Australia, Tony Malone (kunjungi blog-nya di sini). Hal yang membuat saya semakin merasa malu adalah bahwa ternyata nama Eka Kurniawan cukup dikenal para pembaca internasional karena beberapa karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, termasuk novel pertamanya ‘Cantik itu Luka’ (diterjemahkan sebagai ‘Beauty is a Wound’ dalam Inggris dan juga novel keduanya, ‘Lelaki Harimau’ (dialihbahasakan ke Inggris sebagai ‘Man Tiger’).

 

Melihat review positif dari Tony Malone serta tanggapan hangat dari beberapa media besar internasional seperti The New York Times, The Guardian, dan Publishers Weekly membuat saya semakin penasaran dan tertarik membaca karya-karyanya. Tanpa perlu berpikir panjang saya langsung membeli dua novel karyanya, ‘Lelaki Harimau’ dan ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’.

‘Lelaki Harimau’ langsung tampak berbeda dengan novel Indonesia lain yang pernah saya baca sebelumnya sejak di halaman pertama. Tidak sebagaimana karangan prosa Indonesia lainnya, novel ini langsung menyajikan konflik yang juga sekaligus menjadi inti cerita. Margio, seorang pemuda yang menjadi karakter sentral novel ini, telah membunuh Anwar Sadat, seorang pria paruh baya yang juga tetangganya dan ayah dari kekasihnya. Konflik terasa semakin intens ketika diketahui bahwa Margio membunuh Anwar Sadat bukan dengan bantuan senjata api maupun tajam, namun dengan mencabik leher Anwar Sadat dengan menggunakan gigi-giginya. Cerita kemudian menimbulkan kesan mistis ketika dengan tenang Margio mengungkap kisah pembunuhan itu.

“Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”

Maka dengan telah tersingkapnya konflik dan diperkenalkannya karakter-karakter misterius yang menjadi inti cerita, Eka Kurniawan dengan cerdas telah merangkul pembacanya untuk tidak meninggalkan kisah selanjutnya yang membuat pembaca tidak lagi mempermasalahkan apa konfliknya, tetapi penasaran dengan bagaimana konflik tersebut bisa terjadi. Pembunuhan Anwar Sadat oleh Margio itu menjadi awal sekaligus akhir dari cerita ini.

Alur cerita kemudian beralih ke masa lampau, dimana Eka Kurniawan mulai memperkenalkan kepada pembacanya tokoh-tokoh dari cerita ini satu demi satu. Eka juga dengan piawai menempatkan latar belakang setiap peristiwa yang telah dikisahkan sebelumnya sehingga begitu terasa pola bercerita deduktif, dimana penceritaan atas akibat mendahului sebab-sebabnya.

Nuansa surealistik yang muncul sekonyong-konyong di awal cerita nyatanya tidak terlampau banyak mewarnai jalan cerita selanjutnya dan bahkan hampir-hampir tidak terasa. Jalan cerita didominasi oleh konflik fisik dan psikis di keluarga Margio dengan segala absurditasnya yang menghancurkan. Tentang ayahnya, seorang tukang cukur yang picik dan penuh amarah hingga Margio begitu berniat menghabisi nyawa ayah kandungnya sendiri, tentang ibunya yang hampir dibuat sinting oleh perilaku ayahnya hingga Margio begitu menginginkan ibunya kembali tersenyum bahagia meski dengan cara yang ganjil sekalipun, dan juga tentang pergolakan batin yang dihadapi Margio. Secercah surealisme hanya kembali tampak saat Margio bertemu dengan siluman harimau putih yang dipercayai merupakan warisan dari kakeknya.

Meski latar belakang tempat, peristiwa, maupun penokohannya terkesan sederhana, hal yang membuat novel ini memikat ialah gaya bercerita deskriptif yang ditampilkan Eka. Eka mampu mendeskripsikan setiap peristiwa dan pemikiran tokohnya dengan mumpuni dengan kedetilan yang tajam. Alur maju-mundur juga membuat novel ini terasa dinamis dan meski minim dialog, gaya bercerita Eka begitu mengalir dengan pemihan diksi dan kalimat yang memikat. Meskipun para pembaca telah memahami konflik yang terjadi, saya meyakini bahwa akhir cerita yang menyempurnakan cerita sebagai satu lingkaran utuh, akan tetap menyajikan kejutan dahsyat meski hanya digambarkan dalam satu paragraf.

Kekuatan bahasa sastra pada diksi yang dipilihnya, ketelitian dan intuisinya dalam menentukan alur, serta kepiawaiannya dalam menjalin keping-keping peristiwa menjadi satu bagian cerita yang utuh barangkali merupakan kekuatan terbesar Eka Kurniawan sebagai pengarang. Karya-karyanya akan selalu ditunggu pembaca dan menjadi warna yang berbeda di dunia literer tanah-air.

Ulasan ini merupakan bagian dari:

Indonesian Literature Reading Challenge

One thought on “‘Lelaki Harimau’ oleh Eka Kurniawan

Leave a comment